Langsung ke konten utama

Cerita Sedih Sahabat dan Poligami

Sahabat senang membaca cerita sedih? Yuk, baca kisah sahabat dan poligami yang menyayat hati di bawah ini!

Cerita itu tidak hanya bisa membuatmu terhibur, tapi dengan membacanya juga cerita bisa mengubah hidupmu. Jadi, tidak ada salahnya untuk meluangkan waktu meski sekedar membaca cerpen yang tidak membutuhkan waktu satu jam untuk membacanya sampai tamat.

Di bawah ini adalah salah satu cerita yang diambil dari sebuah event cerpen tema sahabat maya.

Jadikan Aku yang Kedua
Oleh  : Rohana Rambe


Salahkan bila kuingin jadi yang kedua? Dialah pria satu-satunya yang kuinginkan jadi Imam. Sahabat dumayku.

Perkenalan kami berawal dari sebuah grup. Aku mengenal kedua pasangan suami istri itu. Dialah mas Hafiz dan Sakinah.

Sakinah sosok yang menyenangkan. Begitu juga dengan mas Hafiz. Mereka mampu membuang rasa trauma untuk menikah lagi. Sakinah yang selalu bercerita bagaimana mas Hafiz memperlakukannya. Niatnya agar aku tidak takut menikah lagi.

"Mak, tidak semua pria seperti mantanmu. Lihat mas Hafiz, dia sosok pria romantis dan bertangggung jawab. Keluarga adalah prioritas utamanya," ujar Ibu tiga anak itu. Dia memanggilku dengan sebutan mak padahal aku tidak punya anak.

"Tau ahh ... gelap."

"Move on dong, Sayang! Kamu masih muda. Tak baik sendiri saja. Banyak fitnah."

Pasca perceraian dengan mas Wafik tiga tahun yang lalu membuatku belum berniat untuk menikah lagi. Dia pria yang sering mabuk-mabukan dan hanya mengabiskan duit. Suka main tangan jika marah. Aku akhirnya menggugat cerai ke Pengadilan Agama.

Terlahir sebagai anak tunggal, aku mewarisi sebuah perusahaan ternama di bidang penerbit. Kedua orangtua meninggal dalam sebuah kecelakaan. Papa yang tengah mengantuk ketika mengemudi hingga mobil yang ia kemudi menabrak sebuah truk kontener. Papa dan Mama meninggal di tempat.

Aku memasuki grup kepenulisan. Mulai berinteraksi dengan banyak anggota grup. Niat mencari penulis yang berbakat dan ingin membantu mereka menerbitkan karyanya.

Kala itu sedang ramai membahas postingan mas Hafiz tentang poligami. Aku ikut nimbrung. Sejak itulah mulai akrab dengan pria itu. Aku rajin komen di tiap statusnya. Hari-hari kami bercanda di dunia maya. Lama-lama kami merasakan kenyamanan. Hingga mas Hafiz meminta nomor teleponku.

Setiap hari kedua pasangan bahagia itu menyapa. Bahkan kami sering video call. Semua masalah yang tengah kuhadapi akan kucurahkan pada mereka. Walau belum pernah bertemu tapi aku selalu bercerita pada mereka.  Mereka sering mengajak ketemuan tapi selalu kutolak dengan alasan sibuk.

Pernah Hafiz mengalami kecelakaan. Aku nangis-nangis takut kehilangan. Entah perasaan apa ini. Aku mulai merindukan pria beristri itu. Padahal kami belum pernah bertemu.

"Mas, baik-baik saja, kan?" Tanyaku lewat telepon.

"Iya. Mas gak apa-apa kok," jawabnya.

"Mana mbak Sakinah?"

"Lagi bobokin si kecil."

"Aku khawatir banget, Mas."

"Takut ya kehilangan, Mas?" Tanyanya sambil tertawa.

"Iya. Aku takut kehilangan, Mas."

"Oh ya?"

"Ihh ... iya loh."

Mas Hafiz mampu membuatku hijrah. Aku sebelumnya selalu berpenampilan seksi. Dia tidak pernah menyinggung soal itu. Namun kata-katanya mampu membuat hatiku tergerak untuk menutup aurat.

"Zah, jodoh itu adalah cerminan dari diri," ujar mas Hafiz lewat telepon.

"Jadi Mas menganggap aku tidak baik makanya berjodoh dengan mas Wafik?"

"Bukan Mas yang bilang gitu. Baca surah An-Nur ayat 26 yang menyatakan jika wanita baik-baik akan berjodoh dengan pria baik pula."

Aku terdiam.

"Tak usah risaukan soal Jodoh. Fokus perbaiki diri agar datang jodoh yang baik pula."

Aku menangis sepanjang malam setelah percakapan itu. Merasa wanita yang paling hina di mataNya. Paginya, dengan mantap, aku mengenakan hijab. Lalu mengabarkan pada mereka jika aku sudah menutup aurat lawat video call.

Mas Hafiz hanya tersenyum. Tapi tidak dengan Sakinah. Dia malah mewek.

"Mak sayang, aku bahagia sekali melihat penampilan barumu. Kamu cantik," ujar Sakinah sambil menyeka air mata.

"Udah coocok belum sama mas Hafiz?" Tanyaku.

Kami bertiga tertawa. Sudah biasa bercanda seperti itu.

"Nah ... mulai sekarang shalatnya gak boleh tinggal lagi!" Seru mas Hafiz.

"Iya, Mas."

"Kebiasaan sedekahnya dilanjut dan jangan lupa ngeluarkan zakat harta."

"Baik, Pak Ustadz."

"Semoga Azizah dapat jodoh yang sholeh seperti mas Hafiz," sambung Sakinah.

Kami tertawa lagi. Terasa dekat walau komunikasi hanya lewat telepon genggam itu.

"Mak, kapan kita ketemu?" Tanya Sakinah.

"Kapan-kapan, Mbak."

"Bagaimana kalo sekarang. Mumpung mas Hafiz libur."

"Aku gak bisa mbak. Ini mau ke rumah sakit."

"Loh, siapa yang sakit?" Tanyanya.

"E ... ini. Ada karyawan."

Aku jadi gugup menjawab pertanyaan Sakinah. Kenapa aku harus keceplosan.

.

      Aku sangat menikmati diriku yang sekarang. Pandangan pria perlahan berubah. Dulu bisa kurasakan pandangan mesum mereka. Tapi kali ini beda. Berubah menjadi pandangan kagum.

Aku bercerita pada mas Hafiz jika ada seorang pria lajang ingin menikahiku. Tapi sudah kutolak.

"Cobalah buka hatimu untuk pria lain."

"Aku ingin menikah dengan pria dewasa, Mas." Kataku.

"Dewasa itu bukan dilihat dari umurnya."

"Tapi aku tak suka pria seperti dia. Mas, aku takut mereka mendekatiku hanya karena harta."

"Minta petunjuk dari Allah. Cari jawabannya dalam istikharahmu!"

Bukan tidak beralasan aku takut jika ada pria yang mendekatiku hanya menginginkan harta.

Pernah ada seorang pria yang datang melamar. Sebelum mengiyakannya, aku mendengar percakapan pria itu dengan rekannya jika dia ingin mencari wanita mapan agar bisa bergantung hidup. Tak peduli dengan statusnya apakah itu janda atau bukan. Aku kecewa.

Debaran dihati kian menjadi jika mas Hafiz chat atau komen. Tidak ... ini salah. Bagaimana mungkin aku mencintai suami dari wanita yang sudah kuanggap saudara. Dan pria itu kukenal hanya lewat dunia maya. Aku jadi tidak fokus. Teringat terus dengan pria beristri itu.

Kucurahkan isi hatiku lewat sujud sepertiga malam.

'Ya Allah jangan biarkan perasaan ini tumbuh subur. Sungguh aku tak ingin jadi duri dalam daging untuk mereka yang kusayang. Berilah yang terbaik untukku ya, Allah.'

Perlahan aku mulai menjauh. Jarang aktip di media sosial. Jika ditanya alasannya lagi sibuk dengan pekerjaan. Tidak pernah membalas chat mas Hafiz juga Sakinah. Terkadang hape non aktip agar tidak masuk telepon dari mas Hafiz. Aku yakin saat ini mereka tengah mengkhawatirkanku. Tapi biarlah. Ini demi kebaikan buat kami semua. Jujur, aku sangat merindukan canda tawa mereka.

Pernah aku mengangkat telepon dari Sakinah. Dia rindu. Aku pun sama. Tapi lagi-lagi aku beralasan sibuk. Tapi bukannya melupakan mas Hafiz, malah rasa rindu itu kian menggebu.

Hingga suatu hari, masuk pesan dari pria berkharisma itu yang mengatakan jika mereka ada di dekat rumahku. Tengah menghadiri pernikahan adik sepupunya. Aku tak dapat menolak keinginan kedua pasangan bahagia itu untuk datang ke acara mereka.

Sakinah memelukku erat. Mas Hafiz hanya hanya mengulurkan tangan tanpa bersentuhan. Kami  bukan mahram.

"Mak, kamu jahat. Gak pernah balas chat dari kami," celoteh Sakinah.

"Aku lagi sibuk, Sayang," jawabku.

"Makanya aku terus mendesak mas Hafiz agar datang ke sini padahal tujuan utamanya ketemu kamu. Tapi kamu kok kurusan, Mak?" Tanyanya.

"Sok tau deh. Kita kan baru ketemu."

"Tapi biasanya gak gini kalo lagi video call, Mak."

"Gak ah ..."

"Beneran, Mak. Iyakan, Mas?" Tanya Sakinah pada mas Hafiz.

"Iya," jawab mas Hafiz.

"Tuu ... kan. Mas Hafiz juga merasakan hal yang sama."

"Oh ya, Mbak. Mumpung lagi di sini, main dong ke rumahku." Aku sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Boleh," jawab Sakinah.

Yuda, bayi delapan bulan itu menangis. Sakinah berusaha mendiamkannya. Lalu dia permisi karena bayinya eek makanya nangis terus.

Sepeninggal Sakinah, aku jadi gugup berduaan dengan mas Hafiz. Debaran itu kian kencang.

"Kenapa, Zah?" Tanya mas Hafiz

"Maksud, Mas?" Tanyaku balik.

"Kamu menjauh."

"Hehee ... itu perasaan Mas saja. Aku sibuk, Mas."

"Bohong. Biasanya tidak seperti itu. Kita berteman cukup lama, Zah. Aku sudah paham dengan semua tentangmu."

Aku menatap mas Hafiz. Dia benar-benar tampan. Wajahnya bersih berseri dengan jenggot tipisnya. Sosok yang berkharisma. Sakinah sangat beruntung memiliki suami sepertinya.

"Aku mau ke toilet," ujarku ingin menghindar.

Baru dua langkah, aku berhenti mendengar ucapan mas Hafiz.

"Aku bisa merasakan debaran itu sangat kuat ketika kau menatapku," ujarnya.

Astaghfirullah ... bagaimana mas Hafiz bisa tahu? Aku berbalik. Mataku sudah berkaca-kaca.

"Biarkan aku menjauh, Mas. Aku tak ingin rasa ini menghancurkan persahabatan kita."

"Sejak kapan, Zah?" Tanyanya.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kuat.

"Entahlah, Mas. Tapi aku akan menghapus rasa cinta ini."

Aku berbalik. Betapa terkejutnya, melihat Sakinah sudah di hadapanku dengan air mata yang sudah menganak sungai. Aku yakin dia mendengar semua ucapanku. Dia berlari menjauh. Ingin mengejarnya tapi tidak jadi sebab aku merasakan pusing. Pandangan mulai gelap. Cepat-cepat aku pergi sebelum mas Hafiz melihatku drop.

Sejak itu komunikasi kami terputus. Aku mengirim pesan pada Sakinah tapi tak pernah dibalas. Sedih rasanya. Tak seharusnya rasa ini tumbuh. Pada akhirnya menghancurkan persahabatan yang begitu erat. Benar kata orang jika kau mencintai sahabatmu maka siap-siaplah harus kehilangan keduanya jika rasamu tak berbalas. Ya aku kehilangan kedua sahabat dan juga cinta.

Suatu malam, masuk pesan dari Sakinah.

[Kau tega, Mak. Ingin merebut sumiku]

Hatiku sakit membaca pesan itu. Lalu kubalas.

[Tak pernah terpikir olehku untuk merebut mas Hafiz]

[Kau cantik dan kaya, Mak. Pasti banyak pria yang menginginkanmu. Kenapa harus suamiku?]

[Tidak, mbak. Aku tak ingin jadi pagar makan tanaman makanya aku menjauh. Maafkan aku, mbak atas rasa yang tak wajar ini]

Sebenarnya wajar jika aku mengagumi mas Hafiz. Dia pria bersahaja, tampan dan beriman. Sakinah setiap saat membicarakan perihal kebaikan suaminya itu. Aku jadi kagum dan menginginkan pria seperti mas Hafiz. Rasa kagumku berubah menjadi cinta.

[Aku kecewa denganmu, Mak. Pantas saja kau selalu mendukung mas Hafiz jika bicara poligami. Ternyata diam-diam kau ingin jadi pelakor]

Kata-kata Sakinah membuat hatiku seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit.

Menangis sepanjang malam. Lalu kumuarakan tangisanku ke atas sajadah hijau di pertiga malam. Berharap Allah memberikan kekuatan.

Pasca pertemuan dengan kedua pasangan bahagia itu membuatku drop. Aku dirawat di rumah sakit. Ya inilah aku. Wanita yang tengah berjuang melawan kangker serviks stadium tiga yang sudah kuderita selama ini.

Dengan kondisi yang kian melemah ini, aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Kuberanikan diri menelepon mas Hafiz. Dan akhirnya kuceritakan semua tentang penyakitku. Dia pun datang menjenguk. Rasanya bahagia sekali melihat pria yang sudah mengambil separuh hati ini.

"Pantasan kamu tambah kurus, Za. Kenapa gak ngasih tahu dari dulu bahwa kamu sedang mengidap penyakit?" Ucapnya.

Aku tersenyum.

"Aku gak mau merepotkan, Mas."

"Jadi kamu anggap apa kami selama ini? Seorang sahabat tidak akan pernah merasa direpotkan."

"Mas, aku kangen dengan Sakinah."

"Jadi sama Mas gak kangen nih?" Tanyanya.

Aku tertawa. Mas Hafiz selalu bisa membuatku tertawa.

Besoknya dia datang lagi. Tapi bukan sendiri. Sakinah langsung menghambur ke pelukanku sambil menangis. Aku jadi susah bernapas didekap erat seperti itu.

"Mbak, aku bisa kehabisan napas kalo begini terus."

Sakinah melepas pelukannya. Sejak itu, mereka sering datang Terkadang mas Hafiz datang sendiri. Sakinah selalu mengirimiku masakannya lewat mas Hafiz. Cintaku pada pria beristri itu semakin besar. Tapi aku sadar, dia milik Sakinah.

Aku drop lagi. Mas Hafiz datang. Dia sangat mencemaskanku.

"Zah, mas begitu mengkhawatirkanmu. Kau butuh seseorang yang selalu ada untuk menjagamu."

"Maksud, Mas, suami?"

Mas Hafiz mengangguk.

"Mana ada pria yang tulus menikah dengan wanita penyakitan sepertiku, Mas."

"Jika kamu bersedia, Mas ingin menikahimu."

"Apa?" Aku terkejut.

"Mas tidak mungkin bisa menemanimu setiap hari, Za. Kita tidak mahram. Nanti malah menimbulkan fitnah. Sebab itu mas ingin menikahimu agar mas bisa menjagamu."

"Lalu bagaimana dengan Sakinah?"

"Mas akan bicara padanya."

"Jangan, Mas," cegahku, "aku tak ingin menyakiti hatinya."

"Dia akan mengerti. Dan ...." Mas Hafiz menggantung ucapannya.

"Sejujurnya mas juga merasakan debaran itu."

Kata-kata mas Hafiz membuatku terkejut. Sungguh aku bahagia sekaligus merasa bersalah. Bagaimana mungkin aku bahagia di atas perderitaan wanita lain. Sakinah, maafkan aku.

.

      Sakinah datang membawa anaknya. Aku jadi deg-degan. Bagaimana kalau dia ingin melabrakku. Ya Allah ... berilah yang terbaik untukku.

Tanpa diduga, Sakinah memelukku sambil berbisik, "menikahlah dengan mas Hafiz."

Aku tercengang.

"Mbak ...."

"Aku ikhlas, Mak. Menikahlah dengan mas Hafiz."

"Tapi, Mbak."

"Mak, aku tidak ingin jadi wanita yang egois. Ada wanita yang tengah berjuang dan membutuhkan seseorang untuk menguatkannya."

Aku menangis mendengar ucapan Sakinah. Sungguh mulia hati wanita itu. Kami berpelukan. Ya Allah terima kasih. Andai engkau mengambil nyawaku saat ini, aku lega. Aku sudah menemukan orang yang tepat untuk mengolah semua titipanMu.

Aku pun menikah dengan mas Hafiz. Sakinah menggenggam erat tanganku saat ijab kabul. Setelah saksi mengatakan sah, mas Hafiz mencium keningku. Lalu aku dan Sakinah berpelukan. Mereka membawaku ke rumah sederhana mereka. Sebenarnya aku menolak. Biarlah aku tinggal di rumahku dan tidak memasuki rumah bahagia mereka. Tapi Sakinah dan mas Hafiz tidak mengijinkanku tinggal sendiri.

Malam pertama sebagai istri mas Hafiz, aku tidak tidur sekamar dengannya. Aku tak ingin menyakiti hati wanita itu. Walau sudah resmi sebagai istri dari mas Hafiz, aku tak ingin mengambil posisi Sakinah di hati pria itu. Lagi pula kondisiku tidak memungkinkan untuk memberi nafkah batin sebagai istri.

Setiap pagi, Sakinah menyiapkan sarapan untuk kami. Aku sangat menikmati hari-hariku dengan ketiga anak-anaknya. Sepertinya Sakinah mengerti keinginanku. Dia sengaja memberi aku kesempatan untuk merawat Yuda.

"Mulai sekarang, Yuda adalah anakmu juga, Mak. Aku menyerahkan dia untuk kau rawat. Kau boleh membawanya tidur denganmu. Yuda tidak minum Asi," ujar maduku itu.

"Kenapa, mbak?" Tanyaku.

"Asiku tidak keluar waktu itu. Kami memberinya susu formula dan akhirnya dia tidak mau lagi menyusu."

Tanggung jawab merawat Yuda sepenuhnya diberikan padaku. Tentu saja Sakinah ikut membantu sebab kondisiku tak memungkinkan. Aku sangat bahagia akhirnya merasakan bagaimana menjadi seorang Ibu.

Kondisiku mulai baik sejak menikah. Aku sudah menyerahkan perusahaan agar dikendalikan mas Hafiz. Awalnya dia menolak tapi aku memaksa.

Suatu sore, aku mengajak mas Hafiz ke rumah milikku. Ada yang ingin aku perlihatkan. Betapa terkejutnya suamiku itu melihat semua dokumen-dokumen yang kuperlihatkan. Tanpa sepengetahuan mereka, aku sudah mengalihkan semua aset milikku atas nama mas Hafiz.

"Kau tak perlu melakukan semua ini,  Za."

"Emang ini niatku dari awal, Mas. Aku ingin menyerahkan semua ini pada orang yang tepat. Dan mas lah orangnya. Aku merasa hidupku tak lama lagi, Mas."

Mas Hafiz meletakkan jari telunjuknya di bibirku.

"Tak baik bicara seperti itu."

"Penyakitku tak mungkin bisa disembuhkan, Mas."

"Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Serahkan semua padaNya."

Aku menangis haru. Mas Hafiz memelukku untuk pertama kalinya. Jantungku jadi berdegup kencang. Aku gugup. Dia mengecup keningku lalu turun ke bibir. Sore itu akhirnya aku merasakan menjadi istri yang seutuhnya buat mas Hafiz. Sudah sebulan pernikahan kami, baru sore itu mas Hafiz menyentuhku. Ya Allah terima kasih atas semua kebahagiaan ini.

Atas desakanku, mas Hafiz dan Sakinah mau pindah ke rumah milikku yang jauh lebih besar dari rumah milik mereka. Sakinah melanjutkan cita-citanya jadi seorang penulis. Dan aku yang merawat anak-anak. Tentu dengan bantuan seorang pengasuh yang kami pekerjakan.

Tapi itu hanya berjalan sebentar. Kondisiku kian melemah. Dokter mengatakan jika penyakitku sudah naik ke stadium empat. Aku sudah melakukan kemoterapi sampai tiga kali. Tentu kondisi kian buruk. Mas Hafiz dan Sakinah terus memberiku semangat. Ya Allah, jika memang umurku sampai di sini, ambillah dalam keadaan khusnul khatimah. Aku sudah siap. Terima kasih, Engkau sudah memberi suami dan keluarga yang membuatku mendekatkan diri padaMu. Terima kasih atas kebahagiaan ini di akhir hayatku. Perkenalan lewat dunia maya akhirnya aku mendapatkan suami. Sungguh Allah Maha Pembuat skenario. Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi untuk sebuah alasan.

------
Sekian

Bagaimana dengan cerita di atas? Temukan lebih banyak cerita lagi dan konten menarik mengenai literasi lainnya hanya di Writer Land. Selamat membaca dan terima kasih.

Baca juga :

Fun Fact Member BTS mengejutkan, ARMY Wajib Tahu!

Materi Stand Up Comedy Seru: 'Cewek Selalu Beruntung' oleh Bang Oong

Begini Nih Cara Menikmati Kopi Sehat Beserta Manfaatnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

50 Quotes Cinta, Bijak, Membangun Fiersa Besari

Fiersa besari penulis muda berbakat yang sering dalam karyanya tercipta bangak quotes bijak. Kata-katanya puitis memotivasi hingga banyak dipajang di jadikan status Facebook dan semacamnya. Berikut ini kumpulan kata-kata bijak, quotes Fiersa Besari yang bisa Sahabat nikmati : "Ternyata memang benar, ketika pujian membuat seseorang besar kepala, ia tidak lagi besar hati untuk menerima saran." "Nyatakan perasaan, hentikan penyesalan, maafkan kesalahan, tertawakan kenangan, kejar impian. Hidup terlalu singkat untuk dipakai meratap." "Jangan cuma lihat senangnya, coba rasakan sedihnya. Hidup siapa pun tidak ada yang sempurna." "Kadang, yang terindah tak diciptakan untuk dimiliki. Cukup dipandangi dari jauh, lalu syukuri bahwa ia ada di sana untuk dikagumi dalam diam." "Dijaga, bukan dikekang. Dipeluk, bukan dicekik. Dipercayai, bukan dicurigai. Diperjuangkan, bukan dipaksakan." "Mungkin, kita terlalu pandai berpura-p

Contoh Materi Stand Up Lucu Tentang Cewek itu Ribet

Cewek itu Ribet Oleh: Bang Oong Gue nggak bermaksud merendahkan para cewek. Jujur, gue sangat respect sama cewek. Karena kalo nggak ada cewek, gak bakalan ada Ibu Kota. Adanya Bapak Kota. Maaf ... kurang lucu! Cewek itu makhluk yang ribet. Percaya atau nggak, tapi itu faktanya. Cewek nih, di mukanya ada jerewat aja, hebohnya minta ampun. "Aduuuh ... muka aku, muka aku!" teriaknya. "Mengapa muka lu?" tanya Bapaknya. "Ada jerawat ... tapi gede." "Itu bukan jerawat, tapi bisul pea!" sanggah Bapaknya. Tapi beneran, Jon. Cewek kalo di mukanya numbuh jerawat tuh langsung heboh, panik, kejang-kejang, ambeien, dan sebagainya. Padahal kan cuma numbuh jerawat. Ngapain panik? Kalo di mukanya numbuh pohon beringin kali, boleh dah panik. Karena bakalan serem. Malem-malem ada Kuntilanak meet up di mukanya. Pas mau berangkat sekolah juga, cewek mah ribet, Jon. Kalo cowok mau berangkat sekolah, ya simple. Pake baju seragam, c

Benarkah Kopi Sumber Inspirasi? Ini Rahasia Penulis Menyukai Kopi

Ternyata kopi memiliki banyak manfaat dalam proses pembuatan karya. Yuk, ketahui rahasianya! Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi besar. Karena fakta tersebut banyak rakyat Indonesia yang menjadi pencinta kopi. Selain rasanya yang enak, manfaatnya yang banyak pun menjadi daya tarik tersendiri. Setiap pencinta kopi memiliki alasan masing-masing untuk menyukai kopi, begitupun penulis. Sahabat sering dengar kan beberapa penulis menulis karyanya ditemani kopi. Ternyata kopi memang mempunyai efek tersendiri bagi mereka. Berikut adalah beberapa alasan mengapa penulis membutuhkan kopi saat hendak menulis : 1. Menambah Ide dan Inspirasi Ketika sedang menulis atau kehabisan ide biasanya kopi bisa menjadi inspirasi. Sebagian penulis mengaku jika dengan meminum kopi, entah datang dari mana inspirasi selalu saja ngalir. Mungkin itu efek kafein yang bisa menenangkan otak, kondisi pikiran tenang itulah yang mungkin mendatangkan inspirasi. 2. Meningkatkan Semangat Ka