TEMBOK TIPIS
Reana Methan
Sepasang sahabat sedang berbincang di taman sekolah, menikmati semilir angin dan menghirup aroma bunga bermekaran di sekitarnya. Raka tersenyum memperhatikan ekspresi Sari yang sedang membaca novel kesayangan. Kadang Sari tertawa, marah, sedih, Raka hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Sar, kita udah lama deket, kan?” tanya Raka.
“Iya, kitakan sahabat,” jawab Sari tanpa beban.
“Emang kamu enggak mau lebih dari itu?” tanya Raka.
“Maksudnya?” tanya Sari.
“Pacaran, gitu?” tanya Raka.
“Emm, enggak!” tegas Sari.
“Ka—“
“Jangan bahas itu lagi! Ayo, kita ke kelas?” ajak Sari, bergegas pergi dari sisi Raka.
“Aku janji bakalan bikin kamu ngerasain apa yang aku rasa, Sar!” teriak Raka kepada Sari.
(4 hari kemudian)
Dua sejoli itu sedang menikmati bakso di kantin sekolah. Raka menambahkan lima sendok sambal ke mangkuk, lalu memakannya. Merasa emosinya belum mereda ia menambahkan 3 sendok lagi ke mangkuknya.
“Raka udah! Jangan dimakan lagi!” Sari khawatir melihat muka Raka yang memerah karena kepedasan.
“Kenapa? Kamu khawatir ya sama aku? Kamu udah mulai sayangkan sama aku?” Raka tersenyum bangga dengan apa yang barusan ia lakukkan.
“Raka cukup! Ini untuk yang terakhir kalinya aku katakan. Aku tidak akan pernah mencintai kamu karena kamu itu sahabatku! Jadi, jangan pernah bertanya seperti itu lagi, ngerti?” Sari sudah kehabisan cara untuk menolak Raka. Raka hanya tersenyum kecut melihat usahanya gagal lagi, ia benar-benar tidak menyangka Sari-nya akan mengatakan itu.
Keesokkan hari, tidak seperti biasa. Raka tidak menjemput Sari terlebih dahulu, ia langsung pergi ke sekolah sendirian. Raka tidak membenci Sari, hanya saja ia belum siap untuk menampakkan wajah setelah kejadian kemarin di kantin. Di kelas, Raka melihat seorang gadis tengah memasukkan sesuatu ke bawah mejanya.
“Hanna, kamu lagi apa?” Gadis itu adalah Hanna, teman sebangku Sari.
“A—ku.” Hanna tidak bisa menjawab, ia pun hendak pergi meninggalkan Raka. Namun, dengan sigap Raka menahannya.
“Apa kamu yang selama ini selalu rutin ngasih cokelat di mejaku?” tanya Raka. Hanna tak berani menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya.
“Apa kamu mau jadi pacarku?” tanya Raka lagi. Hanna tersenyum malu-malu, mukannya memerah. Hanna tak percaya cintanya akan mendapat balasan. Hanna menunduk malu, lalu sekali lagi ia mengangguk.
“Kalo begitu, sekarang kita resmi pacaran.” Raka melakukan itu bukan karena Raka sudah melupakkan cintanya pada Sari. Raka sadar bahwa perjuangan cinta untuk mendapatkan Sari sudah selesai, kini saatnya ia menuai kebahagiaan dari cintanya yang lain. Cinta orang yang memperjuangkannya.
Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang sedang memperhatikkan mereka, dia adalah Sari yang menjadi saksi bersatunya cinta teman sebangku dan sahabatnya. Sari baru menyadari perasaannya, namun dia terlambat. Ia pun mengurungkan niat untuk mengklarifikasi perasaannya terhadap Raka. Dari kejadian ini dia belajar bahwa, sahabat adalah tembok tipis yang menjadi pembatas cinta mereka.
~oOo~
Tepat satu minggu hubungan Raka dan Hanna berjalan, dan satu minggu pula mereka mengalami penderitaan. Jujur saja selama itu, Raka tidak pernah mengantar jemput Hanna sebagaimana ia mengantar jemput Sari dulu. Raka dan Sari pun hanya bertegur sapa seperlunya tanpa lelucon dan tawa, yang tersisa hanyalah senyuman hambar yang dipaksakan. Yang terluka disini bukan hanya Raka dan Sari, tapi juga Hanna. Gadis itu harus selalu siap mendapatkan tatapan hampa, lelucon garing, dan berbagai macam alasan dari pacarnya yang tidak lain adalah Raka. Jangan tanya bagaimana hubungan Sari dan Hanna? Mereka berdua terjebak di situasi yang sangat canggung.
“Han, aku pulang duluan, ya? Kamu bareng sama Raka, kan?” Sari bertanya, sambil memasukkan semua bukunya kedalam tas. Hanna tidak menjawab, ia hanya tersenyum lebar untuk menyamarkan perasaannya.
Raka melihat Sari sudah siap dengan tasnya, ia ingin sekali mengantarkan Sari pulang seperti biasanya. Namun, Raka tidak sekejam itu. Ia masih punya hati untuk menghargai Hanna yang sekarang menjadi pacarnya. Sari mendekati Raka dengan senyum ramah yang dibuat-buat seraya berkata, “Rak, aku duluan, ya?” Sari menepuk pundak Raka.
“Hati-hati.” Jawab Raka seadanya.
Raka terus memperhatikan punggung sahabatnya, rasanya ia perlu memastikkan agar Sari-nya sudah benar-benar hilang dari pandangan. Setelah itu, baru matanya bisa beralih menatap Hanna sang pacar. Ia bingung harus mengatakan alasan apalagi, Raka sungguh tak tega tapi Raka benar-benar tak bisa. Ia tidak mau membonceng cewek yang tidak ia cintai, meskipun Hanna sekarang berstatus sebagai pacarnya.
“Sayang, kamu mau pulang sekarang?” tanya Raka, untuk menghargai Hanna.
“Iya, aku pulang sekarang,” jawab Hanna, bak artis sinetron ia berpura-pura bahagia, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Ia tersenyum agar sang kekasih tidak merasa terbebani.
“Sayang, ma—“ Hanna memotong ucapan kekasihnya, sebelum kekasihnya menambah dosa karena selalu berdusta.
”Aku bisa pulang sendiri,” seru Hanna memegang lembut lengan kekasihya.
“Jangan sendiri! Seseorang akan mengantarkanmu!” Raka berakting layaknya laki-laki yang sedang memperhatikan pacarnya.
“Baiklah kalo begitu.” Hanna menuruti saja apa kata sang kekasih, agar drama ini cepat selesai.
“Hati-hati ya, sayang.” Raka mengusap lembut puncak kepala Hanna, lalu pergi meninggalkan Hanna sendirian di dalam kelas. Raka merasa bersalah, seharusnya ia tidak menjadikkan Hanna sebagai pelarian. Raka pikir akan sangat mudah melupakan Sari kalo dirinya sudah memiliki kekasih, nyatanya perjalanan tak semudah seperti yang ia pikirkan.
Sebenarnya, Raka tidak langsung pulang ke rumah. Raka mengikuti Sari, ia sangat rindu dengan gurauan sahabatnya itu. Raka hanya akan melihatnya dari jauh dan memastikan Sari-nya pulang ke rumah dengan selamat, karena ia merasa bertanggung jawab akan hal itu. Namun, yang ia lihat sekarang Sari-nya tidak sedang berada di rumah tapi di sebuah taman di pinggir danau.
Sari nampak sangat bersedih, pikirannya sangat-sangat kacau. Sari membutuhkan seseorang, tapi ia tidak punya siapa-siapa lagi. Raka sudah memiliki kekasih sekarang.
‘Ada apa dengan gadis itu? Kenapa Sari menangis?’ hatinya merasa tercubit, sangat perih melihatnya. Raka tidak bisa berdiam diri saja melihatnya, ia akan tetap mendekati Sari walau apapun resikonya.
“Ekhem....” Raka berdehem untuk memulai pembicaraan. Refleks, Sari menengok ke belakang.
Raka terpaku seketika, sekarang hatinya benar-benar seperti di iris melihat begitu banyak sisa air mata di wajah sahabatnya. Sigap Sari mengusap sisa air matanya. “Kamu disini? Hanna mana?” tanya Sari dengan senyum palsunya.
“Dia sudah pulang,” jawab Raka, yang sedang menenangkan hatinya.
“Oh, kamu sudah mengantarkannya, ya?” tanya Sari dengan senyum hangatnya, yang membuat siapa saja ingin memilikinya. Raka hanya mengangguk, berbohong. Raka tidak ingin membahasnya lebih lama lagi, Itu semua tidak penting. Sekarang, baginya perasaan Sari lah yang lebih penting, ia ingin segera menanyakan kenapa gadisnya menangis.
Di lain tempat, Hanna sedang menunggu seseorang yang dijanjikan Raka untuk mengantarnya. Tatapan matanya sangat kosong. Bukankah ini semua yang dulu sangat dia impi-impikan? Menjadi pacar seorang Raka Muhammad. Hanna tersenyum menertawakan nasibnya, mengingat betapa dulu Hanna sangat mendambakan untuk berada di posisinya saat ini. Mungkin, harusnya ia bersyukur, karena Tuhan telah mengabulkan doanya. Raka memang tidak pernah menyakiti dirinya secara langsung, Raka sangat-sangat menghargainya sebagai pacar. Namun, mata tidak bisa dibohongi, insting wanita sangatlah kuat bahwa dirinya tidak pernah benar-benar ada dalam hati sang kekasih.
Key, seorang laki-laki yang dari tadi memperhatikan Hanna. Ia benar-benar merasa prihatin akan nasib yang sedang menimpa gadis tersebut. Namun, Key tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, cinta memang sangat kejam, bisa menyakiti hati siapa saja yang mencoba memilikinya. Hanna tersadar dari lamunannya ketika seorang laki-laki tengah melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.
Hanna melihat sesosok laki-laki yang tidak ia kenal, dengan pakaian santainya laki-laki itu memang terlihat menawan. Namun, kelihatannya dia sangat cuek.
“Gue Key sepupu Raka, orang yang disuruh Raka jemput lo.” Key memperkenalkan dirinya kepada Hanna yang nampak sangat kebingungan.
“Owh. Aku Hanna, emm ... pacarnya Raka,” jujur saja Hanna ragu dengan jawabannya barusan, ‘apakah benar Raka menganggapku sebagai kekasih? Yang tahu hanyalah Raka. Tidak! Sebenarnya semua orang mengetahuinya namun, mereka berpura-pura buta mengenai apa yang terjadi pada kisah drama percintaanku dan Raka’ batin Hanna berkecamuk menjawab pertanyaannya sendiri.
”Hei, lo ngelamun?” tanya Key, yang sudah menerka apa yang gadis di hadapannya lamunkan.
“Eh ... maaf.” Hanna tersadar dari lamunannya.
“Sepertinya, lo butuh liburan. Ayo naik!” perintah Key kepada Hanna.
“Kita mau kemana?” tanya Hanna.
Sepertinya ia memang butuh liburan untuk menenangkan sejenak hati dan otaknya dari pikiran tentang hubungan rumit ini.
“Naik aja!” ujar Key, yang memang tidak suka berbasa-basi. Hannapun mengikuti perintah Key untuk segera menaiki motornya.
Ternyata Key mengajaknya ke sebuah taman di tengah kota, Hanna tersenyum. Setidaknya disini ia bisa menenangkan hatinya, dengan melihat orang-orang yang tengah jalan-jalan bahagia di taman ini. Namun, tak sengaja Hanna melihat dua orang yang sudah tidak asing lagi di matanya. Mereka adalah Raka dan Sari, sang kekasih dan teman sebangkunya. Hatinya sangat perih, melihat tangan Raka merangkul pundak Sari dan kepala temannya bersandar tepat di dada sang kekasih.
Key menatap lurus apa yang menjadi fokus Hanna, ia pun melihat hal serupa. Hatinya terbersit rasa bersalah karena dirinya mengajak Hanna ke taman ini. Namun, Key tidak ingin menyalahkan dirinya sendiri karena menurutnya ini adalah takdir yang harus dihadapi Hanna. Sekarang, tugasnya adalah menguatkan gadis itu.
“Hei, duduk sisni!” perintah Key sambil menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. Namun, Hanna tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya.
“Mereka saling mencintai.” Key berujar. Hanna mulai tertarik dengan perkataan Key barusan ‘sepertinya dia tahu sesuatu’ batin Hanna bersuara. Hanna pun mengikuti perintah Key untuk duduk di sisinya.
“Gue pernah ada di posisi lo. Karena dulu, gue suka sama Sari,” Key menjelaskan dan Hanna mendengarkannya sangat serius.
“Tapi, gue sadar. Posisi gue saat itu hanya sebagai tembok tipis penghalang bersatunya cinta mereka,” Key menghela napas sebentar, ”seperti, lo. Bedanya lo sudah memiliki status dari Raka. Lo tinggal pilih. Mengorbankan status lo demi kebahagiaan yang sebenarnya atau mempertahankannya? Lo hanya dapet status, kebahagiaan lo semu. Jika lo masih kekeh ingin mempertahankan status lo, yang menderita bukan hanya lo, tapi mereka juga.” Key berusaha menyadarkan Hanna.
“Kamu benar, aku harus melakukan sesuatu!” seru Hanna, sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Lo mau ngapain? Jangan ganggu mereka!” perintah Key, tak suka.
“Aku harus menyelesaikannya sekarang!” tegas Hanna, yang tidak ingin ada penolakkan.
Di tepi danau, di bawah pohon rindang, sepasang sahabat sedang tenggelam di pikirannya masing-masing. Sebenarnya Raka tahu apa yang Sari-nya pikirkan, ia tahu! Tapi tidak bisa apa-apa. Ingin sekali ia membisikan ‘maukah kau menjadi gadisku?’ kepada gadis yang ada dalam pelukannya. Ia sangat merindukan Sari-nya, sangat-sangat ingin menyampaikan bahwa ‘cintamu tidak bertepuk sebelah tangan, Sayang’ tapi, jika ia mengatakan itu, bagaimana dengan Hanna? Gadis itu tidak tahu apa-apa, yang Raka tahu Hanna sangat bahagia ketika mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Raka tidak bisa melukai Hanna, tapi ia juga tidak sanggup melihat penderitaan gadis yang ia cintai.
Jangan dulu berkata Sari tidak sadar. Sari sadar, ia sedang bersandar di dada siapa saat ini. Ia juga sadar, sahabatnya kini telah memiliki kekasih. Tapi untuk kali ini saja, ijinkan Sari merasakan kehangatan dekapan juga degupan jantung sahabatnya, kekasih teman sebangkunya. Detik ini, waktu ini, ijinkan ia beristirahat sebentar dari gejolak pertarungan logika dan hatinya. Ijinkan ia beristirahat dengan tenang untuk menghadapi kenyataan di esok hari.
Drrrttt ... Drrrtt....
Getaran handphone Raka, membuyarkan semuanya. Sari beranjak dari sandarannya, memberikan kesempatan untuk Raka mengangkat telponnya. Dengan berat hati, Raka mengangkat telponnya.
“Hallo ... Sayang.” Raka melirik ke arah Sari, ia ingin tahu bagaimana ekspresi Sari-nya. Sari hanya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah danau. Entah kenapa hatinya serasa menyempit, sakit sekali mendengar kata ‘sayang’ keluar dari mulut Raka.
“Kabar bahagia apa, Sayang?” Raka mengatakan itu hanya untuk menutupi rasa bersalahnya kepada gadis yang sedang berbincang dengannya lewat telpon ini.
“Kenapa begitu?” Raka nampak kaget, membuat Sari kebingungan ‘sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan?’ batin Sari.
“Baiklah, kalo itu maumu.” Setelah mengatakan itu, Raka menutup telponnya. Raka nampak menatap Sari dalam, Sari semakin bingung. Apakah yang mereka bicarakan ada hubungan dengan dirinya? Sari pun memutarkan kepalanya, ia menyapu keadaan di sekitar.
“Hanna!” pekik Sari, ketika ia melihat seorang gadis yang sedang menatapnya lurus. Gadis itu tidak sendirian. Namun, melihat ekspresi sedih yang gadis itu perlihatkan membuat hatinya teriris. Sari merasa bersalah, ia hendak mengejar Hanna yang baru saja pergi usai melihatnya. Tapi, dengan cekatan Raka mengunci kedua tangan Sari.
“Apa yang terjadi?” tanya Sari.
“Hanna memutuskanku.” Jawab Raka, tanpa beban sedikitpun.
“Maafkan aku. Aku...” sari merasa bersalah.
“jangan merasa bersalah!” Raka menatap Sari. Tatapan itu, tatapan memuja yang selalu Sari rindukan, tatapan kasih sayang yang selalu menyejukkan. Hati Sari melembut dan ia tersenyum. “Maukah kau menjadi gadisku?” pertanyaan itu akhirnya terlontarkan juga dari mulut Raka.
[END]
Komentar
Posting Komentar