Orang Tua Cermin Anak
Oleh: Reana Methan
Satu jenis tulisan yang selalu berhasil membuatku marah. Kalian tahu apa? Itu lhoo, tulisan berjalan yang selalu lewat di televisi. Tak pernah berhasil aku baca secara utuh. Setiap pagi menunggu berita. Bukan karena gemar tapi aku menunggu tulisan berjalan itu. Mata berbinar ketika melihatnya, namun dia tak pernah membiarkanku berakhir bahagia. Sebelum sekolah selalu saja nangis karena lagi-lagi kalah cepat baca.
Namun, kadang hobiku yang satu ini memberi pengaruh buruk. Membuatku tidak mau diganggu ketika membaca. Pernah kejadian saat aku membaca. Bapak baru pulang dari masjid terus duduk di kursi depan.
"Dek, udah sholat belum?" Itu suara Bapak.
"Belum, Pak. Bentar lagi sampai ceritanya kelar dibaca."
Bapak tidak akan berhenti menyuruh sampai aku melakukannya. "Dek, sholat!" Nadanya agak meninggi dari yang awal.
"Bentar, sedikiiiiiiiit lagi."
Bapak tidak ada menyuruh lagi, tapi ia berdiri dari duduknya. Melihat itu dengan cepat aku berlari ke kamar mandi untuk berwudhu. Tahu kenapa? Karena kupingku merasa akan ada hal buruk menimpanya jika masih diam saja.
Sesudah berwudhu, tidak melihat Bapak di tempatnya. Aku mengambil kembali buku yang tadi. Terus membawanya ke kamar dan membacanya lagi. 'Sholatnya nanti aja kalo udah tamat baca' dalam pikir.
"Dek, udah sholatnya?" tanya Bapak membuka pintu kamarku.
Kalo mengaku belum sholat, takut dimarahin alhasil terpaksa berbohong meski tahu tak akan mudah membohongi Bapak. "Udah."
Bapak melihat rambutku, untung sudah dilap pake handuk kalo tidak pasti ditanya, "Kok, rambutnya masih basah bekas wudhu." Sekilas lega perihal itu. Tapi, tiba-tiba pertanyaan Bapak tak masuk akal.
"Dedek sholat pake apa?"
"Pake mukenalah, Pak."
"Mukena Dedek lagi dicuci Mamah."
Tuhkan sudah kubilang berbohong pada Bapak tidak akan mudah. Mataku melirik ke arah mukena Mamah yang menggantung. "Dedek pake mukena Mamah."
Bapak mendekat ke arah mukena Mamah. "Tidak ada jarum pentul di mukena Mamah."
Tatapan Bapak sudah tidak bersahabat, aku menutup kedua kupingku sambil berkata, "Iya, Dedek baru mau sholat sekarang."
"Iyalah, Bapak ngintip daritadi Dedek sesudah wudhu langsung baca buku gak sholat." Aku dongkol kalo dari tadi lihat kenapa harus nanya segala, tinggal suruh sholat jadikan tidak akan bohong. Malu.
Aku akui Bapak memang cerdas membuat kita mengakui kesalahan. Pernah waktu itu aku dilarang main ke luar rumah. Tapi kalo tidak nekat bukan aku namanya, aku main ke luar tanpa sepengetahuan Bapak dan berhasil masuk rumah lagi dengan selamat. Tahu apa yang Bapak lakukan?
"Dedek abis main dari mana?"
"Dedek gak main. Dari tadi di rumah."
"Itu sandal Dedek kotor. Banyak nempel tanah merah."
Allohuakbar. Sudah kubilang Bapak cerdas, sampai hal sedetail itu dia jadikan senjata.
Sebenarnya semakin Bapak banyak tanya hal detail, semakin pintar juga aku menjawab kalo bohong. Tapi, Bapak lagi-lagi mendapatkan senjata ampuh. Begini, nih.
"Kalo Dedek gak bohong. Dedek jawabnya bakal cepet gak akan mikir."
Ah, sudahlah. Semenjak itu aku berpikir berbohong adalah hal yang paling berat. Kenapa? Karena harus mempersiapkan kebohongan-kebohongan lain. Mending dimarahin semarah-marahnya daripada mikir banyak cerita dan nanggung malu jika berbohong. Apalagi sama Bapak.
Orang tua adalah cermin bagi anak-anaknya. Tidak percaya? Akan aku ceritakan.
Waktu itu teman lagi main di rumah. Ketika adzan Bapak menyuruhnya pulang untuk sholat dulu. Ceritanya pulanglah dia, tapi baru juga aku selesai wudhu temanku sudah datang lagi. Aku tanya dong ala-ala Bapak.
"Udah sholatnya?"
"Udah."
"Berapa rakaat?" Pertanyaanku baru pemanasan, nih.
"Empat." Kebetulan waktu itu sholat Dzuhur.
"Coba baca surat Al-fatihah!" suruhku.
Dia membacanya agak lama. Setelah dia selesai membaca, aku berujar, "Tuhkan baca Al-fatihah satu aja lama, apalagi empat kali di setiap rakaat. Pasti gak sholat, ya? Cepet banget."
Setelah kejadian itu temanku enggak berani lagi main sebelum shalat. Aku kecil terdidik mencari hal-hal detail yang tak pernah orang pikirkan itu berkat Bapak. I love Bapak.
Tasikmalaya, 27 November 2018
Komentar
Posting Komentar