Filosofi Sapi Perah
By Reana Methan
Hidup tidak sesederhana sapi perah yang setiap hari diperas tetap diam ikhlas. Pemiliknya tersenyum girang mendapat uang, sedang sapi hanya mendapat jerami.
~Re Artha~
“Re, makan dulu, Nak,” teriak Ibu Marga dari kamar.
“Iya, Mah.”
Re gadis berusia 19 tahun yang kini bekerja sebagai guru les. Setiap hari mengunjungi rumah anak didiknya dari siang sampai sore, malamnya ia juga membuka les di rumah untuk anak-anak tetangga. Letih? jangan ditanya lagi. Pekerjaan ini telah ia jalani sejak masih SMA.
Sebelum keluar dari kamar untuk menuruti permintaan ibunya, Re menyunggingkan bibir melihat karyanya. Senyuman itu terlihat seperti meremehkan daripada menunjukan kepuasan. Ia akhirnya menyimpan buku yang berisi banyak cerpen, cerpen yang dibuat semua berasal dari keresahan.
Berjalan menuju meja makan, dari jauh sudah tercium aroma ayam bakar kesukaannya ‘Alhamdulillah masih peduli' suara hati Re bergemuruh.
“Makan yang banyak biar gemuk,” ujar seorang laki-laki yang kini tengah duduk di hadapannya. Re hanya mengacungkan kedua jempol, tak berniat menjawab. Dengan penuh nafsu ia menggigit paha yang tersedia di atas piring, hingga yang tersisa tinggal tulang.
Keluarlah Ibu Marga dari kamar, ia tersenyum menatap siapa yang duduk di depan Re. “Abang udah pulang?” tanya Bu Marga kepada anak sulungnya.
“Iya, Mah. Abang libur tiga hari, nanti ke sana lagi,” jawab Rio santai. Ibunya mengangguk, sedang Re memicing tak suka mendengar jawaban Rio.
“Emang gak ada kerjaan lain apa di sini, kenapa harus ke Bandung!” ujar Re sarkas.
“Re, jangan gitu ah sama Abangnya!” Ibu Marga mengingatkan.
Re pun meninggalkan Abang dan ibunya ke tempat cuci piring. Bukankah apa yang diucapkannya benar, kenapa harus jauh-jauh mencari pekerjaan sedang di sini saja bejibun. Re terisak, ia kesepian di rumah hanya berdua dengan ibu.
Saat Re sedang terhanyut dalam isak, Rio mendekat. Tidak bersuara hanya mengusap lembut rambut adiknya. Re langsung memeluk Rio.
“Abang kemana aja? Re butuh Abang, jangan kemana-mana lagi,” pinta Re disela tangisnya. Rio tak berani mengiyakan permintaan Re, hanya tersenyum.
“Mau jalan-jalan?” tanya Rio.
“Mau,” ujar Re bersemangat, langsung berteriak minta izin kepada ibunya. “Maaahh, Re nggak kerja ya hari ini. Mau jalan-jalan sama Abang.”
“Terserah kamu. Tapi, Re kasian mereka."
“Sehari aja,” teriak Re lagi.
“Terserah kamu.” Terdengar jawaban dari Ibu agak sedikit keberatan.
Saat Rio dan Re hendak membuka pintu, Ibu mendekat. “Rio jangan ganggu adik kamu kerja, dong!” Re mengeratkan rahangnya kesal.
“Iya, Mah. Re akan kerja, kok,” lirih Rio sambil menatap adiknya yang tentu saja dibalas tatapan nyalang.
“Lebih baik kamu bantu adiknya kerja dulu, abis itu baru jalan-jalan.”
Ish, katanya terserah. Terserah macam apa itu?! Di perjalanan menuju rumah anak didiknya Re terus saja menggerutu dalam hati akan sikap ibu yang tak membiarkan ia untuk beristirahat sejenak. Sedangkan Rio tidak banyak bicara, hanya berjalan melingkarkan tangan di bahu adiknya. “Mau itu.” Tunjuk Re ke sebuah tas yang bertengger dengan indah di sebuah toko.
“Jangan yang aneh-aneh uang Abang udah dikasih Ibu semua.”
“Lo sih nggak pinter!” Sarkas Re. Re memang jadi tempramen setelah ditinggal ayahnya dan dikecewakan seseorang. Rio mengerti, dia hanya tertawa.
***
“Re, tadi Bu Iren ngasih gaji kamu bulan ini."
“Mana, Mah?” tanya Re sambil mengulurkan tangan. Ia sudah menata semua kebutuhannya, termasuk beli buku seorang penulis yang ia suka.
“Mama tadi udah beliin kamu baju baru, terus beli peralatan rumah kita. Sisanya tinggal seratus, biar mama aja yang simpan. Kalo kamu yang simpan nanti habis dibeliin barang yang nggak penting.”
'Itu sebenernya uang siapa? aku kerja capek. Uangnya belum pernah aku rasain. Sebenernya siapa yang suka beli barang yang enggak penting?' Re terus saja menggerutu dalam hati. Ia masuk kamar, lalu menangis menutup kepala dengan bantal.
“Astagfirullah, kamu nggak ikhlas ngasih sama Mamah. Mamah bakal ganti, nih uang kamu.” Ibu Marga menyimpan uang seratus ribu di kasur, lalu ia meninggalkan kamar dengan air mata.
Hal itu tentu saja membuat Re semakin bersalah, dari dulu ibunya selalu begitu menangis dan berkata akan menggantinya. Di sisi lain, Re tetap kesal. Sebenarnya yang tersakiti itu siapa? kadang ia bertanya pada diri sendiri.
Seperti biasa Re langsung menuangkan kekesalannya menjadi sebuah cerita. Benar-benar seperti sapi perah yang hidup hanya untuk menyenangkan majikannya saja, sedang ia hanya diberi makan tanpa kebebasan. Sayangnya, Re tak seikhlas sapi-sapi itu.
Tiba-tiba ada seseorang yang memergokinya. “Kamu suka nulis, Dek?”
“Gara-gara Abang gak ada di rumah!”
Rio hanya tersenyum dan mengusap kepala adiknya. Ia tahu apa yang adiknya rasakan sekarang, sama seperti apa yang dirasakannya dulu saat awal-awal kerja. Rio mencium rambut adiknya. “Dek, karyamu mau diterbitin nggak?” Re langsung mendongak mendengar pertanyaan itu. “Mau,” jawabnya sumringah.
“Nanti Abang kenalkan sama temen Abang, dia seorang editor.”
***
Sekarang mereka berada di sebuah kafe berkelas, yang datang ke sana rata-rata adalah orang penting seperti editor, penulis bahkan juga artis. Re merasa kecil, ia duduk di sebelah Rio yang sedang berbincang dengan teman editornya.
Bang Edi menggunakan kacamata mins namun tetap fashionable. Di sebelahnya, seorang penulis wanita yang seperti ramah namun jelas sekali meremehkan. Karena dari tadi mereka berbincang ia tidak pernah sama sekali melirikan matanya ke arah Re.
“Wah, ini kisah nyata semua, ya?” tanya Bang Edi. Re tidak menjawab, sang editor tersenyum mengerti.
“Ini bagus, tinggal benerin sedikit. Doakan saja semoga cerita kamu bisa bersaing di toko buku dengan karya penulis lain nanti,” ujar Bang Edi.
“Aamiin,” jawab Rio. Re memang tidak banyak bicara.
“Iya nanti karya kamu bersaing dengan karya saya.” Akhirnya perempuan itu bersuara namun kentara sekali meragukan. Re hanya tersenyum tidak berniat membalasnya.
***
Di pagi yang indah, masih terlihat embun yang mulai menipis. Re melihat pemandangan yang tidak biasa, ibunya menangis.
“Mah, kenapa?”
“Mamah besok mau cari kerja.”
“Emang gaji Re sama Abang nggak cukup?”
“Itu uang kamu. Mamah mau belanja pake uang sendiri.” Tangisan itu makin terdengar.
“Enggak, Mah. Jangan, kami ikhlas.” Re menundukan kepala. “Tapi, ... jangan semuanya.” Re takut ibunya akan tersakiti.
“Jangan, Sayang. Mamah percaya kalian ikhlas, tapi mamah mau belajar mandiri. Inilah saatnya kalian menikmati hasil jerih payah kalian.”
“Mamah.” Re memeluk ibunya dan tanpa sengaja ia melihat buku 'Filosofi Sapi Perah'. Ia tahu mengapa ibu tiba-tiba berubah, ternyata suara yang disampaikan lewat tulisan akan sampai ke hati. Pesannya tersampaikan, ia bahagia.
-TAMAT-
Komentar
Posting Komentar