Mungkin masih banyak Sahabat yang bertanya siapa itu Jokpin dan bagaimana tokoh jokpin di Indonesia?
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Ketika akhirnya matamu mati
Kita sudah menjadi kalimat tunggal
Yang ingin tetap tinggal
Dan berharap tak ada yang bakal tanggal
Suatu malam Tuhan jalan-jalan ke kampung itu. Ia
berhenti di depan gerbang dan tersenyum melihat
plang bertuliskan Jalan Hantu. Ia segera berbalik arah,
mencari jalan lain yang terang dan tidak seram.
Waktu itu kamu memintaku merawat
sebuah batu besar di halaman rumahmu
sebelum nanti kamu pahat jadi patung,
Patung itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.
Aku suka duduk membaca dan melamun
di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya.
Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu
dan mungkin terserap ke dalam rahimnya.
Hujan sangat mencintai batumu dan cinta hujan
lebih besar dari cintamu. Aku senang
melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.
Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu
lahir air mancur kecil yang menggemaskan.
Air mancur itu sekarang sudah besar,
sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.
Maaf, jangan ganggu air mancurku.
Bahkan batumu mungkin sudah tak mengenalmu.
Ibumu adalah guru bahasamu. Dan guru bahasamu
mengajarkan, di dalam kata apem ada api
yang telah dihalau hati yang adem.
“Cangkemmu adalah surgaku,” kata harimau.
Dan kata guru bahasamu, di dalam kata asem ada asu
yang telah ditangkal tangan yang kalem.
Itulah sebabnya, mengapa simbah-simbahmu
diberi nama indah: Waginem, Poniyem, atau Sarikem.
Kau tak ada di tanganku
ketika aku membutuhkan jarimu
untuk mengubah gundahku.
Kau tak ada di sarungku
ketika aku membutuhkan jingkrungmu
untuk meringkus dinginku.
Kau tak ada di bibirku
ketika aku membutuhkan aminmu
untuk meringkas inginku.
Kau tak ada di mataku
ketika aku membutuhkan pejammu
untuk merengkuh tidurku.
mungkin kau sudah menjadi aku
sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.
Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.
Kau punya bermacam-maca kopi
dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih
kopi yang mana?” Aku menjawab: “Aku pilih kopimu.”
Di mataku telah lahir mata kopi.
Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi.
Apakah puting susu juga mengandung kopi?
Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.
Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.
Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.
Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.
Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.
Suatu malam si mata langit meminta si mata kolam
membujuk si mata ronda agar bertanya kepada
yang empunya rumah cahaya apa yang dipancarkan
matanya di tengah dunia gemerlap yang sering
gelap ini. Yang empunya rumah bingung harus bilang
apa. Kucing-kucing yang tak paham bahasa puisi itu
mungkin sedang gundah melihat mata manusia.
Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan.
Harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,
minum kopi bersama senja di depan jendela.
Ia sopir yang periang. Saat taksi dihajar kemacetan,
ia bernyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya yang gundul. Tambah parah macetnya
tambah lantang nyanyinya, tambah goyang kepalanya.
Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela
yang layak dipersembahkan kepada senja. Jendela saya
seperti hati saya: dingin, muram, ringkih, takut
melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.
Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.
Taksi memasuki jalanan mulus dan lengang, melintasi
deretan bangunan tua dengan jendela-jendela
yang tertawa. Di tepi jalan berjajar pohon cemara.
Di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.
Laju taksi tiba-tiba melambat. Taksi berhenti
di depan kedai kopi. “Mari ngopi dulu, Penumpang,”
ujar sopir taksi. “Baiklah, Sopir,” saya menyahut,
“aku berserah diri menuruti panggilan kopi.”
Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi
beserta penumpang masing-masing. Mereka dilayani
seorang perempuan tua yang keramahannya membuat
orang ingin datang lagi ke kedainya. “Urip iki mung
mampir ngopi,” ucapnya seraya menghidangkan
secangkir kopi di hadapan saya, lalu menepuk-nepuk
pundak saya. Wajahnya yang damai dan matanya
yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.
Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk
pundak saya. Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.
Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan
terima kasih, Sopir tersenyum dan berkata, “Selamat
bertemu senja di depan jendela, Penumpang.”
Saya berterima kasih kepada ibu yang diam-diam
telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.
Paket jendela saya temukan di beranda. Saya tidak
pangling dengan jendela itu. Jendela tercinta
yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.
Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.
Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.
Ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,
ibu melantunkan tembang Asmaradana dan mata ibu
sesekali terpejam. Ibu menyanyikan tembang itu
berulang-ulang sampai anak-anaknya tertidur lelap.
Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.
Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela. Perlahan
muncullah cahaya remang diiringi suara burung
dan gemercik air sungai. Jendela saya buka, lalu saya
duduk tenang ditemani secangkir kopi.
Saya dan kopi
terperangah ketika cahaya berubah terang. Tampaklah
di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih
di bawah langit senja. Di tepi sungai ada batu besar.
Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas
batu besar itu, mengidungkan tembang Asmaradana
kesukaan ibu. Kepalanya yang gundul berkilauan.
Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot
membawa buah tangan yang hanya akan
membuat tanganku gemetar dan mataku basah.
Aku tahu, kepalamu kian berat
dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor
dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.
Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu
dan tak bisa menemukanmu.
Di manakah kamu? Ke manakah kamu?
Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu.
Pulanglah dengan girang jika pulang
adalah menulis ulang sajak yang rumpang.
Jika kau punya banyak kucing tapi tak punya
ngeong kucing, aku punya malam-malam
bertaburkan ngeong kucing.
Pulanglah dengan lugu. Masih ada pintu untukmu,
bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam
saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku.
Sekian Biografi Joko Pinurbo dan beberapa kumpulan karyanya. Temukan artikel menarik lainnya tentang idola kalian hanya di Writer Land.
Bagi Sahabat yang penasaran, kali ini Writer Land akan membahas lebih dekat siapa itu sosok jokpin beserta karyanya.
Biografi Joko Pinurbo Penyair Terkemuka Indonesia
Joko Pinurbo lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 1962. Pendidikan terakhirnya adalah Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Sanata Darma Yogyakarta pada tahun 1987. Beliau juga berprofesi sebagai dosen IKIP Sanata Darma Yogyakarta.
Jokpin alias Joko Pinurbo adalah salah satu penyair asal Indonesia yang karya-karyanya memberikan warna baru bagi perpuisian tanah air. Puisinya memiliki gaya dan ciri khas yang kuat, hal itu yang mengantarkannya berhasil menjadi salah satu tokoh penyair terkemuka.
Beliau mengasah kemampuan dan mulai menciptakan karya-karya puisinya sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Rata-rata puisi-puisi yang dibuat Jokpin adalah perpaduan dari narasi, ironi dan humor.
Karena beliau lulusan bahasa dan sastra Indonesia sebagian besar karyanya banyak mendayagunakan keunikan-keunikan bahasa Indonesia. Sehingga beberapa puisinya hanya dapat dinikmati oleh bahasa Indonesia saja. Tak sedikit juga puisi-puisinya yang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing seperti Inggris, Mandarin dan Jerman.
Sebagai penyair terkemuka Joko Pinurbo juga telah banyak meraih penghargaan salah satunya South East Asian (SEA) Write Award (2014). Beliau juga sering diundang di acara festival puisi baik nasional sampai internasional. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai prestasinya bisa langsung lihat di Wikipedia.
Buku Buku Joko Pinurbo Lama Hingga Terbaru
Sebagai salah satu penyair terkemuka beliau juga tak kalah dengan idolanya yaitu Bapak Sapardi Djoko Damono. Jokpin telah melahirkan beberapa karya yang dibukukan. Buku-bukunya antara lain adalah sebagai berikut:
• Celana (1999)
• Di Bawah Kibaran Sarung (2001)
• Pacarkecilku (2002)
• Trouser Doll merupakan terjemahan karyanya berjudul Celana ke dalam bahasa Inggris (2002)
• Telepon Genggam (2003)
• Kekasihku (2004)
• Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005)
• Kepada Cium (2007)
• Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007)
• Haduh, aku di-follow (2013)
• Surat Kopi (2014)
• Malam ini aku akan tidur di matamu (2016)
• Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)
• Di Bawah Kibaran Sarung (2001)
• Pacarkecilku (2002)
• Trouser Doll merupakan terjemahan karyanya berjudul Celana ke dalam bahasa Inggris (2002)
• Telepon Genggam (2003)
• Kekasihku (2004)
• Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005)
• Kepada Cium (2007)
• Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007)
• Haduh, aku di-follow (2013)
• Surat Kopi (2014)
• Malam ini aku akan tidur di matamu (2016)
• Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016)
Kumpulan Puisi Karya Jokpin
KAMUS KECIL
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan
Walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman
Bahasa Indonesiaku yang gundah
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat
Ketika induk kalimat bilang pulang
Anak kalimat paham
Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
Ruang penuh raung
Segala kenang tertidur di dalam kening
Anak kalimat paham
Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
Ruang penuh raung
Segala kenang tertidur di dalam kening
Ketika akhirnya matamu mati
Kita sudah menjadi kalimat tunggal
Yang ingin tetap tinggal
Dan berharap tak ada yang bakal tanggal
HARI PERTAMA SEKOLAH
Hari pertama sekolah aku langsung
berkelahi dengan teman sekelasku.
Dia tanya apa cita-citaku. Aku jawab,
“Aku ingin menjadi kenangan.” Dia bilang
aku goblok sekali karena seharusnya
cita-citaku menjadi presiden.
Aku bilang, “Kamu goblok dua kali.”
berkelahi dengan teman sekelasku.
Dia tanya apa cita-citaku. Aku jawab,
“Aku ingin menjadi kenangan.” Dia bilang
aku goblok sekali karena seharusnya
cita-citaku menjadi presiden.
Aku bilang, “Kamu goblok dua kali.”
JALAN TUHAN
Ada sebuah kampung yang tersohor di seluruh
penjuru kota karena jalan yang melintasinya
diberi nama Jalan Tuhan. Jika kau naik ojek, bilang saja
mau ke Jalan Tuhan, maka tukang ojek langsung tahu
alamat yang kautuju. Di kampung itu kau harus siap
diperiksa oleh orang-orang mahabenar, ditanya
apa agamamu, seberapa tinggi kadar imanmu, seberapa
rutin ibadahmu, apa jenis kelaminmu, apa makanan
dan minumanmu. Kau wajib mematuhi tata tertib
yang mengatur tentang bagaimana seharusnya dirimu
berhubungan dengan Tuhanmu. Selanjutnya kau akan
diberi obat anti ini anti itu. Apa yang diharamkan
oleh manusia tidak boleh dihalalkan oleh….
penjuru kota karena jalan yang melintasinya
diberi nama Jalan Tuhan. Jika kau naik ojek, bilang saja
mau ke Jalan Tuhan, maka tukang ojek langsung tahu
alamat yang kautuju. Di kampung itu kau harus siap
diperiksa oleh orang-orang mahabenar, ditanya
apa agamamu, seberapa tinggi kadar imanmu, seberapa
rutin ibadahmu, apa jenis kelaminmu, apa makanan
dan minumanmu. Kau wajib mematuhi tata tertib
yang mengatur tentang bagaimana seharusnya dirimu
berhubungan dengan Tuhanmu. Selanjutnya kau akan
diberi obat anti ini anti itu. Apa yang diharamkan
oleh manusia tidak boleh dihalalkan oleh….
Suatu malam Tuhan jalan-jalan ke kampung itu. Ia
berhenti di depan gerbang dan tersenyum melihat
plang bertuliskan Jalan Hantu. Ia segera berbalik arah,
mencari jalan lain yang terang dan tidak seram.
SURAT BATU
Maaf, baru sekarang aku membalas surat
yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.
yang kamu kirim tujuh tahun yang lalu.
Waktu itu kamu memintaku merawat
sebuah batu besar di halaman rumahmu
sebelum nanti kamu pahat jadi patung,
Patung itu kamu ambil dari sungai di tengah hutan.
Aku suka duduk membaca dan melamun
di atas batumu dan bisa merasakan denyutnya.
Kadang mimpiku tertinggal di atas batumu
dan mungkin terserap ke dalam rahimnya.
Hujan sangat mencintai batumu dan cinta hujan
lebih besar dari cintamu. Aku senang
melihat batumu megap-megap dicumbu hujanku.
Akhirnya batumu hamil. Dari rahim batumu
lahir air mancur kecil yang menggemaskan.
Air mancur itu sekarang sudah besar,
sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan.
Maaf, jangan ganggu air mancurku.
Bahkan batumu mungkin sudah tak mengenalmu.
M
Setiap akhir pekan ibu menghidangkan sayur asem
dan kue apem agar kami pandai mingkem
dan terbebas dari durjana cangkem.
dan kue apem agar kami pandai mingkem
dan terbebas dari durjana cangkem.
Ibumu adalah guru bahasamu. Dan guru bahasamu
mengajarkan, di dalam kata apem ada api
yang telah dihalau hati yang adem.
“Cangkemmu adalah surgaku,” kata harimau.
Dan kata guru bahasamu, di dalam kata asem ada asu
yang telah ditangkal tangan yang kalem.
Itulah sebabnya, mengapa simbah-simbahmu
diberi nama indah: Waginem, Poniyem, atau Sarikem.
SURAT KAU
Kau tak ada di kakiku
ketika aku membutuhkan langkahmu
untuk merambah rantauku.
ketika aku membutuhkan langkahmu
untuk merambah rantauku.
Kau tak ada di tanganku
ketika aku membutuhkan jarimu
untuk mengubah gundahku.
Kau tak ada di sarungku
ketika aku membutuhkan jingkrungmu
untuk meringkus dinginku.
Kau tak ada di bibirku
ketika aku membutuhkan aminmu
untuk meringkas inginku.
Kau tak ada di mataku
ketika aku membutuhkan pejammu
untuk merengkuh tidurku.
mungkin kau sudah menjadi aku
sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.
SURAT KOPI
Lima menit menjelang minum kopi,
aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”
aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih,
setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”
Mungkin karena itu empat cangkir kopi sehari
bisa menjauhkan kepala dari bunuh diri.
Kau punya bermacam-maca kopi
dan kau pernah bertanya: “Kau mau pilih
kopi yang mana?” Aku menjawab: “Aku pilih kopimu.”
Di mataku telah lahir mata kopi.
Di waktu kecil aku pernah diberi Ibu cium rasa kopi.
Apakah puting susu juga mengandung kopi?
Kopi: nama yang tertera pada sebuah nama. Namaku.
Burung menumpahkan kicaunya ke dalam kopi.
Matahari mencurahkan matanya ke hitam kopi.
Dan kopi meruapkan harum darah dari lambungmu.
Tiga teguk yang akan datang aku bakal
mencecap hangat darahmu di bibir cangkir kopiku.
MATA KUCING
Ia punya tiga kucing bermata indah di rumahnya.
Yang matanya menyala seperti senter yang dipakai
peronda disebutnya mata ronda. Yang memancarkan
cahaya langit biru dinamainya mata langit. Yang bening
berkilau seperti kolam dipanggilnya mata kolam.
Yang matanya menyala seperti senter yang dipakai
peronda disebutnya mata ronda. Yang memancarkan
cahaya langit biru dinamainya mata langit. Yang bening
berkilau seperti kolam dipanggilnya mata kolam.
Suatu malam si mata langit meminta si mata kolam
membujuk si mata ronda agar bertanya kepada
yang empunya rumah cahaya apa yang dipancarkan
matanya di tengah dunia gemerlap yang sering
gelap ini. Yang empunya rumah bingung harus bilang
apa. Kucing-kucing yang tak paham bahasa puisi itu
mungkin sedang gundah melihat mata manusia.
JENDELA IBU
Waktu itu saya sedang mencari taksi untuk pulang.
Entah dari arah mana munculnya, seorang sopir taksi
tahu-tahu sudah memegang tangan saya,
meminta saya segera masuk ke dalam taksinya.
Entah dari arah mana munculnya, seorang sopir taksi
tahu-tahu sudah memegang tangan saya,
meminta saya segera masuk ke dalam taksinya.
Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan.
Harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,
minum kopi bersama senja di depan jendela.
Ia sopir yang periang. Saat taksi dihajar kemacetan,
ia bernyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya yang gundul. Tambah parah macetnya
tambah lantang nyanyinya, tambah goyang kepalanya.
Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela
yang layak dipersembahkan kepada senja. Jendela saya
seperti hati saya: dingin, muram, ringkih, takut
melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.
Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.
Taksi memasuki jalanan mulus dan lengang, melintasi
deretan bangunan tua dengan jendela-jendela
yang tertawa. Di tepi jalan berjajar pohon cemara.
Di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.
Laju taksi tiba-tiba melambat. Taksi berhenti
di depan kedai kopi. “Mari ngopi dulu, Penumpang,”
ujar sopir taksi. “Baiklah, Sopir,” saya menyahut,
“aku berserah diri menuruti panggilan kopi.”
Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi
beserta penumpang masing-masing. Mereka dilayani
seorang perempuan tua yang keramahannya membuat
orang ingin datang lagi ke kedainya. “Urip iki mung
mampir ngopi,” ucapnya seraya menghidangkan
secangkir kopi di hadapan saya, lalu menepuk-nepuk
pundak saya. Wajahnya yang damai dan matanya
yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.
Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk
pundak saya. Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.
Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan
terima kasih, Sopir tersenyum dan berkata, “Selamat
bertemu senja di depan jendela, Penumpang.”
Saya berterima kasih kepada ibu yang diam-diam
telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.
Paket jendela saya temukan di beranda. Saya tidak
pangling dengan jendela itu. Jendela tercinta
yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.
Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.
Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.
Ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,
ibu melantunkan tembang Asmaradana dan mata ibu
sesekali terpejam. Ibu menyanyikan tembang itu
berulang-ulang sampai anak-anaknya tertidur lelap.
Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.
Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela. Perlahan
muncullah cahaya remang diiringi suara burung
dan gemercik air sungai. Jendela saya buka, lalu saya
duduk tenang ditemani secangkir kopi.
Saya dan kopi
terperangah ketika cahaya berubah terang. Tampaklah
di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih
di bawah langit senja. Di tepi sungai ada batu besar.
Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas
batu besar itu, mengidungkan tembang Asmaradana
kesukaan ibu. Kepalanya yang gundul berkilauan.
SURAT PULANG
Tenanglah. Aku tak pernah mengharap
oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah.
Kamu bisa pulang dengan rindu
yang masih utuh saja sudah merupakan berkah.
oleh-oleh dari orang yang hidupnya susah.
Kamu bisa pulang dengan rindu
yang masih utuh saja sudah merupakan berkah.
Pulang ya pulang saja. Tak usah repot-repot
membawa buah tangan yang hanya akan
membuat tanganku gemetar dan mataku basah.
Aku tahu, kepalamu kian berat
dan hidupmu bertambah penat. Mau selonjor
dan ongkang-ongkang saja kamu tak sempat.
Pernah aku jauh-jauh pergi untuk menemuimu
dan tak bisa menemukanmu.
Di manakah kamu? Ke manakah kamu?
Ealah, ternyata kau sedang beribadah di akunmu.
Pulanglah dengan girang jika pulang
adalah menulis ulang sajak yang rumpang.
Jika kau punya banyak kucing tapi tak punya
ngeong kucing, aku punya malam-malam
bertaburkan ngeong kucing.
Pulanglah dengan lugu. Masih ada pintu untukmu,
bahkan jika kau pulang telanjang malam-malam
saat aku sedang bertukar meong dengan kucingku.
Sekian Biografi Joko Pinurbo dan beberapa kumpulan karyanya. Temukan artikel menarik lainnya tentang idola kalian hanya di Writer Land.
Komentar
Posting Komentar